Sabtu, 23 Februari 2008

MK: LARANGAN RANGKAP JABATAN KETUA KONI TIDAK BATASI HAM

Dengan berlakunya Pasal 40 Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN), Pemohon sebagai orang pribadi tidak dibatasi atau dihilangkan hak asasinya. Hal tersebut disampaikan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 27/PUU-V/2007 pada Jumat, (22/2) di Ruang Sidang Pleno MK. Lebih lanjut menurut MK, pengurangan atau pembatasan HAM baru terjadi jika Pemohon dilarang menjadi pejabat struktural atau pejabat publik.

Pemohon yang dimaksud adalah Saleh Ismail Mukadar yang menjabat sebagai ketua KONI Surabaya Pemohon sekaligus Ketua Komisi E DPRD Jatim. Saleh beranggapan keberadaan Pasal 40 UU SKN yang berbunyi: “Pengurus komite olah raga nasional, komite olah raga propinsi, komite olah raga kabupaten/kota bersifat mandiri dan tidak terikat dengan kegiatan jabatan struktural dan jabatan publik” sangat diskriminatif sehingga bertentangan dengan konstitusi karena membatasi atau melarang pejabat publik untuk duduk menjadi pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI).

Menurut MK Pasal 40 UU SKN tidak mengatur mengenai pembatasan HAM tetapi mengatur tentang larangan rangkap jabatan bagi pejabat struktural dan pejabat publik. Dengan larangan rangkap jabatan yang hanya berlaku bagi pejabat struktural dan pejabat publik itu, tidak ada satu pun hak asasi Pemohon selaku orang pribadi (natuurlijke persoon) yang dilanggar. Pemohon tidak terpasung haknya untuk memajukan diri secara kolektif, tidak kehilangan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta tidak diperlakukan secara diskriminatif dengan berlakunya Pasal 40 UU SKN.

Diskriminasi, jelas MK, adalah memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang sama. Sebaliknya bukan diskriminasi jika memperlakukan secara berbeda terhadap hal yang memang berbeda. Jika perlakuan terhadap manusia (setiap orang) tidak sama dengan perlakuan terhadap pejabat struktural atau pejabat publik, hal itu bukan merupakan perlakuan yang diskriminatif.

Seandainya pun perlakuan tersebut dianggap berbeda, maka hal itu pun tidak bertentangan dengan hak setiap orang atas perlakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil. Karena, keadilan itu sendiri mempunyai dua makna, yaitu keadilan komutatif, yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya tanpa melihat jasa/prestasinya, dan keadilan distributif, yang memberikan kepada setiap orang sesuai dengan jasa/prestasinya.

Keadilan yang diterapkan pada Pasal 40 UU SKN, menurut MK, adalah keadilan distributif. Keadilan dalam makna ini dapat digunakan dalam menentukan syarat yang harus dipenuhi untuk menduduki jabatan tertentu. Syarat-syarat tersebut dapat berupa penentuan batas usia, pendidikan, pengalaman, kesehatan, rangkap jabatan, dan lain-lain.

Lebih lanjut MK berpendapat bahwa pembatasan pejabat struktural dan hak pejabat untuk tidak merangkap menjadi pengurus Komite Olahraga Nasional (dahulu KONI) sebagaimana tercantum dalam Pasal 40 UU SKN bukan merupakan pembatasan terhadap hak konstitusional Pemohon. Pembatasan demikian merupakan pilihan kebijakan yang terbuka bagi pembuat undang-undang dengan tujuan semata-mata untuk menciptakan good governance secara lebih efektif.

Sama juga dengan pembedaan pengaturan rangkap jabatan antara kepengurusan Komite Olahraga Nasional dengan Kepengurusan Induk Organisasi Cabang Olahraga juga merupakan legal policy. Dengan kata lain, hal itu diserahkan kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya, apakah akan disamakan atau dibedakan. Sebab antara KON dan Induk Organisasi Cabang Olahraga memang ada persamaan tetapi ada juga perbedaan.

Oleh karena itu, MK berkesimpulan bahwa permohonan Pemohon tidak beralasan, dan “ketentuan Pasal 40 UU SKN tidak bertentangan dengan Pasal 28C Ayat (2), Pasal 28D Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945,” ucap Ketua MK, Jimly Asshiddiqie, dalam sidang terbuka untuk umum. (

GAJI PENDIDIK MASUK ANGGARAN PENDIDIKAN

Pasal 49 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) sepanjang mengenai frasa “gaji pendidik danbertentangan dengan UUD 1945. Hal tersebut dinyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sidang pengucapan putusan perkara No. 24/PUU-V/2007, Rabu (20/2), di Jakarta.

Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas berbunyi, Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)". Berarti, dengan adanya putusan MK tersebut, gaji pendidik, sebagai bagian dari komponen pendidikan, harus dimasukkan dalam penyusunan anggaran pendidikan APBN dan APBD.

Lebih lanjut, menurut MK dalam pertimbangan hukum putusan perkara yang diajukan Rahmatiah Abbas dan Badryah Rifai tersebut, apabila gaji pendidik tidak dimasukkan dalam anggaran pendidikan dalam penyusunan APBN dan APBD dan anggaran pendidikan tersebut kurang dari 20% dalam APBN dan APBD, maka undang-undang dan peraturan yang menyangkut anggaran pendapatan dan belanja dimaksud bertentangan dengan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Terlepas dari segala maksud baik yang melatarbelakanginya, MK menyatakan, rumusan makna Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas menjadi tidak konsisten dengan rumusan makna Pasal 1 angka 3 UU Sisdiknas, yang berbunyi: “Sistem pendidikan nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional” dan Pasal 1 angka 6 UU Sisdiknas yang berbunyi: “Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan”. Selain itu, rumusan Pasal 49 ayat (1) UU Sisdiknas telah mempersempit makna filosofis Pasal 31 ayat (4) UUD 1945, yang seharusnya tidak boleh dilakukan, mengingat UUD 1945 merupakan norma tertinggi bagi bangsa dan Negara.

Pasal 31 ayat (4) UUD 1945

“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”

Dengan dimasukkannya komponen gaji pendidik dalam perhitungan anggaran pendidikan, menurut MK, lebih mudah bagi Pemerintah bersama DPR untuk melaksanakan kewajiban memenuhi anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dalam APBN. Jika komponen gaji pendidik dikeluarkan, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 hanya sebesar 11,8%. Sedangkan dengan memasukkan komponen gaji pendidik, anggaran pendidikan dalam APBN 2007 dapat mencapai 18%.

Oleh karena itu, dengan adanya Putusan ini, MK menegaskan bahwa tidak boleh lagi ada alasan untuk menghindar atau menunda-nunda pemenuhan ketentuan anggaran sekurang-kurangnya 20% untuk pendidikan, baik dalam APBN maupun APBD di tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat (4) UUD 1945.

Terkait dengan permohonan lain para Pemohon yaitu pengujian UU APBN Tahun Anggaran 2007, MK berpendapat, UU APBN mempunyai karakter yang berbeda dengan undang-undang pada umumnya, di antaranya adalah bersifat eenmalig yang berlaku hanya untuk satu tahun dan sudah berakhir. Oleh karena itu, permohonan tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

Terhadap putusan MK perkara No. 24/PUU-V/2007 ini, tiga orang hakim konstitusi mempunyai pendapat berbeda (dissenting opinion), yaitu Hakim Konstitusi H. Abdul Mukthie Fadjar, Maruarar Siahaan, dan H. Harjono.

Senin, 04 Februari 2008

Permainan Tradisional

Gatrik atau Tak Kadal pada masanya pernah menjadi permainan yang populer di Indonesia. Merupakan permainan kelompok, terdiri dari dua kelompok.

Permainan ini menggunakan alat dari dua potongan bambu yang satu menyerupai tongkat berukuran kira kira 30 cm dan lainnya berukuran lebih kecil. Pertama potongan bambu yang kecil ditaruh diantara dua batu lalu dipukul oleh tongkat bambu, diteruskan dengan memukul bambu kecil tersebut sejauh mungkin, pemukul akan terus memukul hingga beberapa kali sampai suatu kali pukulannya tidak mengena/luput/meleset dari bambu kecil tersebut. Setelah gagal maka orang berikutnya dari kelompok tersebut akan meneruskan. Sampai giliran orang terakhir. Setelah selesai maka kelompok lawan akan memberi hadiah berupa gendongan dengan patokan jarak dari bambu kecil yang terakhir hingga ke batu awal permainan dimulai tadi. Makin jauh, maka makin enak digendong dan kelompok lawan akan makin lelah menggendong.